TRADISI MENDAK KEMATIAN -HUKUM, SEARAH DAN TRADISI MENDAK KEMATIAN

HUKUM DAN PROSES TRADISI MENDAK
 

1.    Tradisi Mendak Kematian 

Mendak kematian adalah istilah yang di gunakan dalam memperingati kematian setelah satu tahun pasca kematian, sebenarnya masih banyak tradisi jawa yang lain dalam memperingati hari kematian, mulai dari nelung dino (tiga hari), mitong dino (tujuh hari),  matang puloh (empat puluh hari), nyatos (seratus hari), mendak pisan (satu tahun perta), mendak pindo (dua tahun ), dan yang terahir adalah nyewu (seribu hari) pasca kematian, setelah seribu hari, istilahny berubah menjadi haul, yg dalam bahasa arab berarti satu tahun, sebutan haul di pakai untuk satu tahun berikutnya setelah nyewu (seribu hari).
Kalau di runtut dari sejarah, sebenarnya peringatan hari kematian adalah mutlaq warisan budaya jawa kuno (hindu jawa), kemudian para ulama, khususnya ‘’wali songo’’ dalam berdakwah atau menyebarkan agama islam dengan cara memasukkan ajaran-ajaran islam ke dalam tradisi atau ritual yg biasa di lakukan oleh masyarakat  jawa  kuno, hal ini tujuannya untuk memudahkan dalam menyebarkan ajaran agama islam (khususnya di pulau jawa), tidak hanya itu saja, msih banyak tradisi jawa yang di pakai ‘’wali songo’’ sebagai mediator penyebaran agama islam,  mulai dari pewayangan, gamelan, ziarah kubur, tahlilan, larangan menyembelih sapi di daerah kudus, dan lain sebagainya.
Maka, para ulama ‘’wali songo’’ berinisiatif  menyusun rangkaian doa-doa dan wirid-wirid serta bacaan – bacaan tahlil dan yasin yang di hadiahkan kepada almarhum, rangkaian-rangkaian wirid dan doa tersebut, sebagai ganti bacaan-bacaan peringatan kematian sebelum masukknya ajaran islam ke dalamnya yang berupa mantra-mantra, puja-pujaan kepada nenek moyang, benda-benda keramat, tempat-tempat keramat dan lain sebagainya.
Hal ini menunjukkan bahwa,budaya yang di miliki oleh masyarakat jawa kuno sangatlah banyak dan begitu kental, sengingga budaya tersebut tidak dapat di ganti dengan budaya islam yang notabene pendatang.maka dari itu islam hanya mampu menempel ke dalam budaya jawa.

B.     PENANGGALAN (JAWA)

Dalam memperingati mendak kematian, khususnya di desa tengguli tidak menggunakan tahun hijriyyah maupun masehi.melainkan menggunakan penanggalan jawa. sering kita dengar atau sering kita tahu, bahwa penanggalan jawa terdiri dari 12 bulan, yaitu:
1.    Suro
2.    Sapar
3.    Mulud
4.    Ba’da mulud
5.    Jumadil awal
6.    Jumadil akhir
7.    Rejeb
8.    Ruah
9.    Poso
10.  Syawal
Sedangkan dari tiap-tiap bulan tersebut  di bagi dalam beberapa hari yang di sebut dengan pasaran jawa, yang sudah berlaku sebelum islam datang ke indonesia khususnya pulau jawa, yaitu:
1.    Kliwon
2.    Legi
3.    Pahing
4.    Pon
5.   Wage

C.    KEGIATAN

Dalam suatu tradisi, tentunya mempunyai cara dan waktu tersendiri, yang tentunya melibatkan sebagian masyarakat sebagai pelaksana.sedangkan proses pelaksanaan mendak kematian di desa tengguli, di mulai dari hari ke 100 (seratus)atau biasa di sebut dengan mendak pisan, pasca wafatnya almarhum.mulanya sekitar jam 4 sore, sebagian masyarakat (tetangga shohibul hajat)bersama-sama pergi ke maqbarah (pemakaman) yang sebelumnya sudah di undang oleh shohibul hajat secara lisan maupun tertulis, kemudian mereka bersama-sama membaca tahlil dan yasin yang di pimpin oleh sesepuh desa, hingga selesai doa.
Kemudian, pada malam harinya sekitar ba’da magrib, di lajutkan kembali membaca tahlil, surat yasin dan doa-doa. Melalui tahlil dan bacaan surat Yasin yang biasa dipimpin oleh salah satu pemuka, masyarakat ikut mendoakan anggota keluarga yang sudah meningal dunia di rumah shohibul hajat. maksud lain dari tradisi ini adalah dzikrul maut yaitu ingat pada kematian, karena setiap orang akan menemuinya entah kapan waktunya. Diharapkan dari tradisi mendak, masyarakat ingat kematian selalu mengintai, sehingga harus banyak berbuat kebajikan dan meninggalkan kejahatan.
Begitu juga pelaksanaan mendak yang ke dua, sama persis seperti pada pelaksaan mendak yang pertama,akan tetapi, untuk mendak yang ke tiga, atau biasa di sebut dengan nyewu,biasanya acaranya lebih besar dari acara mendak yang pertama dan ke dua,karna dalam acara ini biasanya di isi dengan mu’idloh hasanah yang di sampaikan oleh kiai undangan atau kiai terdekat.
Kemudian setelah nyewu, barulah peringatan tersebut di sebut dengan haul, dan akan berlanjut insaallah selama masyarakat desa tengguli masih tetap menjaga tradisi kearifan lokal mereka.
Selain memiliki nilai religius, tradisi ini juga dapat membuat hubungan masyarakat semakin dekat. Biasanya pada acara peringatan mendak itu disajikan makanan yang dibuat bersama-sama oleh shohibul hajat. Tetangga dekat biasanya akan turun tangan untuk membantu memasak walau tanpa diberi imbalan.
Ibu-ibu membantu membuatkan makanan kecil dan besar, sedangkan kaum laki-lakinya mempersiapkan tempat dan membaca tahlil serta doa. Di sinilah keunikan tradisi ini, menyampaikan nilai kebersamaan sebagai wujud mahluk sosial, secara lembut tapi mengena tepat pada sasarannya.
Masyarakat desa tengguli menganggap tradisi mendak sangat perlu untuk dilestarikan, karena mengandung nilai-nilai unsur kebudayaan dan keberagamaan yang kian lama kian terkikis oleh zaman. Dampak jangka panjang dari tradisi ini adalah kebersamaan yang masih sangat kental antara warga yang satu dengan yang lainnya.
Warga desa tengguli telah membuktikannya. Kegiatan bersama yang mereka buat selalu sukses. Karena warganya tumbuh menjadi sangat peduli dengan nilai kekeluargaan dan kebersamaan.
Dari sini, sedikit banyak kita perlu mencontoh warga desa tengguli agar kearifan lokal yang kita miliki tidak luntur, karena sebenarnya setiap khazanah kebudayaan itu mengajarkan nilai-nilai kebaikan.

D.    DALIL TENTANG SELAMETAN

Hukum selamatan hari ke-3, 7, 40, 100,’’ setahun, dan 1000 hari diperbolehkan dalam syari'at Islam. Keterangan ini diambil dari kitab "Al-Hawi lil Fatawi" karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2 halaman 178 sebagai berikut:

قال الامام أحمد بن حنبل رضي الله عنه فى كتاب الزهد له : حدثنا هاشم بن القاسم قال: حدثنا الأشجعى عن سفيان قال
قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام , قال الحافظ ألو نعيم فى الجنة: حدثنا أبو بكر بن مالك حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل حدثنا أبى حدثنا هاشم بن القاسم حدثنا الأشجعى عن سفيان قال: قال طاوس: ان الموتى يفتنون فى قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام

Artinya:

"Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud : Telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Qasim sambil berkata : Telah menceritakan kepadaku al-Asyja'i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus,  Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka,  disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) yang pahalanya di tujukan  untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.


Telah berkata al-Hafiz Abu Nu'aim di dalam kitab Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku al-Asyja'i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya orang-orang yang sudah meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.

"Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2 halaman 194 diterangkan sebagai berikut :
ان سنة الاطعام سبعة أيام بلغنى أنهامستمر الى الأن بمكة و المدينة فالظاهر أنها لم تترك من عهد الصحابة الى الأن و انهم أخذوها خلفا عن سلف الى الصدر الأول

Artinya:

"Sesungguhnya, kesunnahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai sekarang, di Mekkah dan Madinah. Yang jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama, yaitu sahabat."

 Hikmah dari keterangan dalil  ini adalah bahwa adat-istiadat amalan seperti Tahlilan bukan murni dari bangsa Indonesia, melainkan sudah pernah dicontohkan sejak masa sahabat, serta para masa tabi’in dan seterusnya. Karena sudah pernah dicontohkan inilah maka kebiasaan tersebut masih ada hingga kini, hanya saja cara pelaksanaannya saja yang berbeda, karna islam menempel kepada budaya jawa kuno.

BLOG PARTNER
KLIK DISINI
Tag : Artikel
0 Komentar untuk "TRADISI MENDAK KEMATIAN -HUKUM, SEARAH DAN TRADISI MENDAK KEMATIAN"

Back To Top