makalah pembuktian hukum acara perdata dan macam-macam pembuktian

BAB I
PENDAHULUANPE

               A.    Latar Belakang

Salah satu tugas hakim adalah menyelidiki apakah hubungan yang menjadi dasar perkara benar-benar ada atau tida. Hubungan inilah yang harus terbukti di muka hakim dan tugas kedua belah pihak yang berperkara adalah memberi bahan-bahan bukti yang di perlukan oleh hakim.
Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu sengketa. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hokum diantara kedua belah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai kepastian, keadilan, dan kepastian hokum.
Dalam pembuktian itu, maka para pihak memberi dasar-dasar atau dalil-dalil yang cukup kepada hakim dilarang melampaui batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Berkaitan dengan materi pembuktian maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat ditujukan kepada penggugat, tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya.
Berkaitan dengan masalah ini maka kami akan membahas lebih lanjut dan lebih dalam mengenai Pembuktian dan Alat Bukti sebagai salah satu tata cara beracara dalam hukum acara perdata.
       1.    Rumusan Masalah
           a.    Apa dan bagaimana Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata ?
           b.    Apa saja alat bukti yang terdapat dalam Hukum Acara Perdata ?
       2.    tujuan Penulisan
           a.    mengetahui bagaimana cara membuktikan dalam hukum Acara perdata.
           b.    Mengetahui apa saja alat bukti dalam hukum Acara perdata.

            B.    PEMBAHASAN

Masuk kedalam pembahasan pembuktian, sebelumnya harus diketahui bagaimana dan apa yang perlu dibuktikan atau objek dari pembuktian tersebut, didalam pembahasan kali ini, pembuktian dikhususkan pada ranah Hukum Acara Perdata yang dimana ada kaitannya dengan tugas hakim dalam mengkonstatirkan peristiwa atau fakta yang diajukan para pihak, Kebenaran yang  diperoleh dari pembuktian berhubungan langsung dengan keputusan yang adil oleh hakim. Ada hal atau peristiwa yang dikecualikan atau tidak perlu diketahui oleh hakim, diantaranya :

       1.    Peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui oleh atau tidak mungkin diketahui oleh hakim.
       2.    Hakim secara ex officio dianggap mengenall peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut.
       3.     Pengetahuan tentang pengalaman. (1)
Seperti yang dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa pembuktian pada umumnya diatur dalam Buku Empat tentang Pembuktian dan Daluarsa pasal 1865 “Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.” (2)
Terdapat juga hal yang perlu dibuktikan diluar yang telah dikecualikan diatas, Membuktikan dalam pembahasan hukum acara dikenal mempunyai arti yuridis. Seperti yang diuraikan Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia, membuktikan berarti memberi dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.
Lebih lanjut Sudikno menjelaskan tujuan pembuktian. Bila dalam tujuan pembuktian ilmiah adalah semata-mata untuk mengambil kesimpulan, tujuan pembuktian yuridis adalah untuk mengambil keputusan yang bersifat definitive, yakni keputusan yang pasti, dan tidak meragukan serta mempunyai keputusan hukum. Putusan pengadilan harus objektif sehingga tidak ada pihak yang merasakan terlalu rendah kadar keadilannya dari pihak lainnya. 
Lebih dalam mengenai Hukum Pembuktian Positif, dalam acara perdata diatur dalam HIR dan Rbg, serta dalam BW buku IV. Yang terantum dalam HIR dan Rbg adalah hokum pembuktian yang materiil maupun formil. (3)
Mengenai apa dan siapa yang dibuktikan dan membuktikan maka yang harus dibuktikan adalah peristiwanya, hakim dalam proses perdata haruslah menemukan peristiwanya atau hubungan hukumnya kemudian menerapkan hokum terhadap peristiwa yang tersebut, kaitan antara peristiwa dan hukum yang ada tersebut.
Dari peristiwa tersebut yang harus dibuktikan adalah kebenarannya dimana kebenaran itu haruslah kebenaran formil, yang artinya hakim tidak boleh melampaui batas yang diajukan oleh yang berperkara, maka hakim tidak melihat kepada bobot atau isi, akan tetapi kepada luas daripada pemeriksaan oleh hakim. 
Pasal 178 ayat 3 HIR (Ps. 189 ayat 3 Rbg.50 ayat 3 Rv) melarang hakim untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut, atau akan meluluskan lebih dari yang dituntut. (4)
Yang mencari kebenaran dan menetapkan peristiwa adalah hakim lalu yang wajib membuktikan atau mengajukan alat alat bukti adalah yang berkepentingan didalam perkara atau sengketa, berkepentingan bahwa gugatannya dikabulkan atau ditolak.
Sesuai pasal 283 HIR “Barang siapa beranggapan mempunyai suatu hak atau suatu keadaan untuk menguatkan haknya atau menyangkal hak orang lain, harus membuktikan hak atau keadaan itu (KUH Perdata 1865 ; HIR. 163).
       Selanjutnya mengenai beban pembuktian, kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat yang wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat berkewajiban membuktikan kebenaran bantahannya. Dalam hal ini ada beberapa teori tentang beban pembuktian yang dapat merupakan pedoman bagi hakim.

         1. Teori Pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot affirmatief).

Teori ini mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan yang mengingkari atau menyangkalnya. Dasar hokum teori ini adalah pendapat bahwa hal hal yang negative tidak mungkin dibuktikan (negativa opn sunt probanda).
       2.      Teori Hukum Subjektif
Teori ini menggambarkan suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hokum subjektif atau bertujuan memepertahankan hokum subjektif, dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikannya.
Teori ini berdasarkan pada pasal 1865 BW “Pasal 1865 Setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu.”

        3.      Teori Hukum Objektif

Teori ini mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bahwa penggugat minta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan-ketentuan hokum objektif terhadap peristiwa yang diajukan.
        4.    Teori Hukum Publik
Menurut teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan merupakan kepentingan publik.
        5.    Teori Hukum Acara
Asas audi et alteram atau juga asas kedudukan proseusuil yang sama daripada para pihak di muka hakim yang merupakan asas pembagian beban pembuktian menurut teori ini.
Selanjutnya mengenai alat pembuktian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1866, Alat pembuktian meliputi : bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah. Pembahasan mengenai macam alat bukti akan dibahas di poin kedua ditambah pemeriksaan setempat dan saksi ahli. (5)

C.    PEMBUKTIAN

Yang di maksud membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang di kemukakan dalam suatu persengketaan, tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus di buktikan kebenarannya. Sebab dalil-dalil yang tidak di sangkal, apalagi di akui sepenuhnya oleh lawan, tidak perlu di buktikan lagi. Selain itu yang tidak perlu di buktikan lagi adalah yang dalam hukum acara perdata disebut fakta notoir yaitu hal yang sudah lazimnya di ketahui oleh umum. Misalnya, bahwa negara indonesia merdeka pada 17 agustus 1945.
Dalam pasal 164 hir menyebutkan bahwa alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas:
1.    Bukti surat atau tertulis
2.    Bukti Saksi
3.    Persangkaan
4.    Pengakuan
5.    Sumpah
6.    Pemeriksaan setempat
7.    Keterangan ahli (6)

1.    Bukti surat atu Tertulis


Alat Bukti Surat atau Tertulis adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menncurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. (7)
Alat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis diantaranya sebagai berikut.
Pertama  adalah surat merupakan sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.(8)
Surat sebaagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat sebagai akta dan bukan akta, sedangkan akta sendiri lebih lanjut  dibagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.
Kedua adalah akta merupakan surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.  Jadi untuk dapat dibuktikan menjadi akta sebuah surat haruslah ditandatangani.
Akta otentik ialah ‘akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu ditempat akta dibuat’ (ps. 1868 KUH Perdata).
Dari penjelasan pasal diatas dapat disimpulkan bahwa akta otentik dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum.  Apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap - tidak berwenang atau bentuknya cacat maka menurut Pasal 1869 KUH Perdata : akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta otentik; namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan. (9)
Akta dibawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan.
Akta dibawah tangan dirumuskan dalam Pasal 1874 KUH Perdata, yang mana menurut pasal diatas, akata dibawah tangan ialah;

a..   Tulisan atau akta yang ditandatangani dibawah tangan,
b.   Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang.

2.      Alat bukti kesaksian


Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang dipersengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam persidangan. (10)
Dalam hukum acara perdata, pembuktian engan saksi ini sangatlah penting artinya oleh karena di dalam masarakat desa perbuatan-perbuatan hukum yang di llakukan biasanya tidak tertulis, melainkan di hadiri saksi-saksi, hal ini terjai karena dalam masyarakat pada umumnya perbuatan-perbuatan hukum tersebut dilakukan dengan dasar saling mempercayai tanpa ada sehelai pun surat bukti.
Pasal 127 HIR memberi petunjuk kepada Hakim supaya ia dalam mempertimbangkan nilai kesaksian, memperhatikan benar cocok tidaknya keterangan-keterangan para saksi satu dengan yang lainnya, cocoknya keterangan saksi dengan apa yang di ketahui dari sumber lain tentang perkara yang di adilinya.
Dengan melihat ketentuan diatas, maka keterangan dari seorang saksi saja dengan tidak ada sesuatupun alat bukti lain, maka tidak dapat dikatakan sebagai alat pembuktian yang cukup. Hal nini sesuai dengan asa yang berlaku yang dikenal dengan sebutan unus testis nullus testis, yaitu satu saksi berarti bukan saksi. (11)
Ada segolongan yang tidak mampu (tidak dapat)untuk bertindak sebagai saksi, tidak mampu secara mutlak dan relatif.
1.    Yang termasuk tidak mampu secara mutlak
Di sini hakim dilarang untuk mendengar mereka ini sebagai saksi, tetapi hanya sebagai penjelasan, yaitu:
-    Keluarga sedarah dan keluarga semendamenurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak.
-    Suami atau istri dari salah satu pihak, meskipun sudah bercerai.
2.    Yang tidak mampu secara relatif
Mereka ini boleh di dengar, akan tetapi tidak sebagai saksi, tp hanya sebagai penjelas sajayaitu:
-    Anak anak yang belum mencapai umur 15 tahun.
-    Orang gila, meski kadang-kadang ingatannya terang atau sehat.
Ada segolongan yang atas permintaannya sendiri di bebaskan dari kewajiban untuk memberi kesaksian, mereka adalah:
-    Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan, dari salah satu pihak.
-    Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus, an saudara laki-laki dan perempuan dari suami atau istri salah satu pihak.
-    Setiap orang yang karena jabatannya, pekerjaannya, atau jabatan yang sah diwajiban menyimpan rahasia. (12)

3.    Alat Bukti Persangkaan


Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari satu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”, pasal 1915 KUH Perdata. Kata lain dari persangkaan adalah vermoedem yang berarti dugaan atau presumptive.  (13) Menurut pasal 173 HIR, bahwa persangkaan-persangkaan itu boleh di perhatikan oleh Hakim, apabila persangkaan itu penting, seksama, tentu, dan sesuai satu dengan yang lainnya. Di katakan (persangkaan-persangkaan) karena satu persangkaan saja tidak cukup untuk membuktikan sesuatu, jadi harus ada beberapa persangkaan. Oleh karena itulah dalam hal ini hakim harus berhati-hati dalam menarik kesimpulantersebut.
Persangkaanpersangkaan Hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas, yaitu terserah kepada kebijaksanaan Hakim, seberapa jauh ia akan memberi kekuatan bukti kepada persangkaan-persangkaan yang di dapat pada pemeriksaan perkara. (14)

4.    Alat bukti Pengakuan

Pengakuan (bekentenis confession) diatur dalam HIR pasal 174-176 dan KUH Perdata pasal 1923-1928. Pengakuan yang dilakukan di depan sidang (di muka hakim) memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang melakukannya, artinya adalah bahwa Hakim harus menganggap dalil-dalil yang telah di kemukakan dan di akui itu adalah dan mengabulkan segala tuntutan atau gugatan yang di dasarkan pada dalil-dalil tersebut, pengakuan yang seperti ini di sebut pengertian murni.
Tetapi, selain pengakuan murni ada pula pengakuan tambahan atau pengakuan berembel-embel. Yang di bedakan ke dalam dua macam, yaitu:

a.    Pengakuan dengan klausula

“Adalah suatu pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan, misalnya “benar saya berutang, akan tetapi utang tersebut telah saya bayar.”
b.    Pengakuan engan kualifikasi
“Adalah pengakuan yang isertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan. Contoh, “penggugat menyatakan bahwa tergugat telah membeli rumah dari penggugat seharga Rp 5.000.000’00, tergugat mengakui telah membeli rumah tersebut, tetapi bukan seharga Rp 5.000.000’00 melainkan Rp 3.00.000’00.”
Baik pengakuan dengan kualifikasi maupun dengan klausula harus di terima bulat dan tidak boleh di pisah-pisahkan dari keterangan tambahannya. Pengakuan semacam itulah yang disebut sebagai pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan (Onsplitbaar Aveu) yang di atur dalam pasal 176. (15)
Selanjutnya pada bagian terahir dari Pasal 176 HIR disebutkan bahwa larangan memisah-misahkan suatu pengakuan ini tidak berlaku lagi apabila tergugat dalam pengakuannya tadi guna membebaskan dirinya, telah mengajukan peristiwa yang ternyta palsu. Hal ini berarti, bahwa apabila penggugat bisa membuktikan bahwa dalil-dalil yang dikemukakan oleh tergugat sebagai pembebasan adalah palsu, maka pengakuan berembel-embel tadi oleh Hakim dianggap sebagai pengakuan murni. (16)

5.    Alat bukti sumpah


Sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmad yang di berikan atau di ucapkan pada waktu memberi janji dan keterangan dengan mengingat akan sifat maha kuasa Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan di hukum oleh=Nya.
HIR menyebutkan 3 sumpah sebagai alat bukti, yaitu:
a.    Sumpah supletoir atau pelengkap (Pasal 155 HIR)
Sumpah supletoir adalah sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya.
Jadi untuk dapat di perintahkan melakukan sumpah ini, harus ada permulaan pembuktian dahulu, tidak bisa di lakukan jika belum ada pembuktian terlebih dahulu,  tetapi bukti yang ada tersebut belum cukup atau sempurna, sehingga dengan melakukan sumpah ini pemeriksaannya menjadi selesai sehingga Hakim dapat menjatuhkan putusannya.
b.    Sumpah aestematoir atau Penaksir Pasal 155 HIR)
Sumpah penaksir yaitu sumpah yang di perintahkan oleh Hakim kepada penggugat apabila penggugat telah dapat membuktikan haknya atas ganti kerugian, tetapi jumlahnya belum pasti. Maka cara untuk menentukan jumlah kerugian tersebut ,di taksir dengan melakukan sumpah ini. Kekuatan sumpah ini sama dengan sumpah supletoir yaitu bersifat sempurna dan masih dimungkinkan di terobos oleh bukti lawan.
c.    Sumpah Decisoir atau pemutus (Pasal 156 HIR)
Sumpah decisoir adalah sumpah yang di bebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawan. Berbeda dengan sumpah supletoir, decisoir ini dapat di bebankan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali sehingga sumpah decisoir ini dapat dilakukan setiap saat selama pemeriksaan di persidangan.
Ada tidaknya sumpah ini di serahkan keppada para pihak yang bersengketa, apakah mereka mau menggunakan sumpah ini atau tidak. Harus hati-hati mempergunakan sumpah ini, karena akan menimbulkan suatu akibat hukum yang berupa kemenangan atau sebaliknya, yaitu kekalahan mutlak. Siapa yang mengucapkan sumpah ini maka akan di menangkan.

6.    Pemeriksaan setempat

Hukum acara telah mengatur perihal berbagai alat bukti, batas minimal serta kekuatan pembuktiannya. Pasal 164 HIR, 284 R.Bg dan 1866 KUHPerdata. Menyebutkan rincian alat bukti dalam hukum acara perdata yaitu bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
Disamping lima alat bukti tersebut terdapat pula dua lembaga lainnya. Pemeriksaan Setempat (descente / plaatselijke opneming en onderzoek, site visit investigation) dan Keterangan Ahli (expertise). Walaupun berdasarkan Pasal 164 HIR, 284 R.Bg. atau Pasal 1866 KUHPerdata, dua lembaga tersebut tidak termasuk alat bukti, namun berdasarkan berbagai argumen yang akan dikemukakan kemudian, ternyata keduanya memiliki berbagai aspek yang signifikan.
Sedangka n yang dimaksud pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan mengenai perkara olehy hakim karena jabatannya yang dilakukan diluar gedung pengadilan, agar Hakim dapat memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa. Di dalam praktek, pemeriksaan ini dilakukan sendiri oleh Hakim dengan dibantu panitera. (17)
Meskipun pemeriksaan setempat ini tidak di muat di dalam Pasal 164 HIRsebagai alat bukti, tetapi oleh karena tujuan pemeriksaan setempat adalah agar hakim memproleh kepastian tentang peristiwa  yang menjadi sengketa, maka pemeriksaan setempat ini, sekarang nyatanya sudah dipakai hakim sebagai alat bukti. (18)

7.    Keterangan Ahli


Keterangan dari pihak ketiga untuk memperoleh kejelasan bagi hakim dari suatu peristiwa yang di sengketakan, kecuali dari saksi, juga diperoleh dari keterangan ahli, yang dalam praktek sering di sebut saksi.
Keterangan ahli adalah keterangan pihak ketiga yang objektif dan bertujuan untuk membantu Hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri. Laporan seorang ahli yang telah di angkat dapat diberikan baik secara lisan maupun tertulis yang diperkuat dengan sumpah.
Menurut prof. Wirjono Prodjodikoro, bahwa keterangan seorang ahli tidak dianggap sebagai alat bukti, karena keterangan seorang ahli hanya merupakan pendapat seseorang tentang sesuatu hal yang memerlukan keahlian tertentu. (19)

D.    PENUTUP
Kesimpulan
Pembuktian merupakan tindakan yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu sengketa. Pembuktian ini bertujuan untuk menetapkan hokum diantara kedua belah pihak yang menyangkut suatu hak sehingga diperoleh suatu kebenaran yang memiliki nilai kepastian, keadilan, dan kepastian hokum.
Dalam pembuktian itu, maka para pihak memberi dasar-dasar atau dalil-dalil yang cukup kepada hakim dilarang melampaui batas yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Berkaitan dengan materi pembuktian maka dalam proses gugat menggugat, beban pembuktian dapat ditujukan kepada penggugat, tergugat, maupun pihak ketiga yang melakukan intervensi. Pada prinsipnya, siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia wajib membuktikannya.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi yang membacanya.


1. Sudikno Mertokusumo, Hukum acara perdata indonesia, (Yogyakarta: Liberty, Edisi VII, 2006), hlm. 133-134

2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (RhedBook Publisher), 422

3.  Sudikno Mertokusumo, opcit, hlm. 137

4.  Reglement Biusten Govesten (RBg), 18

5.  Kitab Undang Udang Hukum Perdata (RhedBook Publisher), 422

6.  Nur rasaid, hukum Acara perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 37

7.  R. Subekti, hukum Acara perdata (Bandung: Penerbit Bina Cipta, 1982), hlm. 200

8. Sudikno Mertokusumo, Hukum acara perdata indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2006), hlm. 149

9.  Yahya harahap, Hukum Acara perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 566

10.  Sudikno Mertokusumo, opcit, hlm. 166

11.     Nur rasaid, ibid, hlm. 40

12.  Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Bandung: Penerbit Sumur Bandung, 1984), hlm. 116-117

13.  Yahya harahap, ibid, hlm. 684

14.   Nur rasaid, Ibid , hlm. 42-43

15.  Nur rasaid, Ibid , hlm. 45

16.   R. Supomo, Hukum Acara Perdata di indonesia, (Jakarta: Fasco, 1958), hlm. 62

17.  Nur rasaid, Ibid , hlm. 46-47

18..Munir fuady, Teori hukum Pembuktian, Cet I (Bandung: Citra aditiya Bakti, 2006), hlm. 43

19.  Wirjono Prodjodikoro, Ibid, hlm. 121
















Tag : Makalah
0 Komentar untuk "makalah pembuktian hukum acara perdata dan macam-macam pembuktian"

Back To Top